Cerpen - Cerita Seorang Perempuan (part2)
Sepertinya ada yang eneh dengan Hendra dan Runa hari ini, tak seperti biasanya mereka tak banyak bicara. Jangan kan bercanda atau sekedar melakukan lelucan, mengobrol ringan saja tampaknya mereka enggan, dan itu membuat saya semakin penasaran. Wajah lesu mereka menandakan mereka juga mempunyai masalah, tapi mereka tak mau jujur dengan saya.
Malam harinya juga tidak datang, padahal mereka tidak pernah telat. Kami selalu kumpul di kafetaria, tempat faforit kami saat malam hari. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Namun saat di depan pintu saya menemukan sosok Roni yang sedang menuju ke arah saya sambil tersenyum manis.
“ Sudah mau pulang?” tegur Roni pada saya yang masih tak percaya dengan apa yang saya lihat. “ Ada yang mau saya bicarakan, kamu nggak lagi sibuk kan?” sambungnya. Saya menggeleng, ia kemudian meuntun saya masuk dan duduk di kursi.
“ Jika saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, izinkan saya untuk mengucap maaf.” Tuturnya memulai pembicaraan.
Ia memegang kedua tangan saya, kemudian meletakkan sebuah kotak kecil di telapak tangan saya.
“ Dan cincin ini sabagai saksi dari ucapan saya.” Ia membuka kotak kecil yang berisi sebuah Cincin berhiaskan permata kecil warna pitih. Cincin itu sangat indah, dan saat ia memasukkannya di jari manis saya rasanya seakan membuat hati saya berbunga-bunga.
Saya begitu terharu hingga tak terasa butiran air mata mulai membasahi kedua pipi saya.
“ Saya lah yang seharusnya minta maaf, karena tidak bisa membuat kamu bahagia. Saya nggak pernah mau tahu tentang perasaan kamu yang terluka saat saya lebih mementingkan sahabat dari pada kamu.” Roni memeluk saya erat, seolah tak ingin melepaskan saya lagi.
“ Kami berdua yang salah dan seharusnya kamilah yang minta maaf.” Seseorang berkata dengan sangat menyesal dari samping kami.
Mendengar itu rangkulan Roni melepas rangkulannya. Hendra, Runa, dan Monika berdiri di hadapan kami. Tampaknya mereka mendengar pembicaraan kami, atau mungkin mereka yang justru merencanakan pertemuan kami ini.
“ Sedang apa kalian di sini?” tanya saya antara kaget dan tak percaya.
Monika hanya tersenyum kemudian duduk bersama kami. “ Anggap saja ini surprize buat kamu.” Jawab Monika santai.
“ Roni, kamu kayak nggak kenal kami aja. Denger ya, kami itu kalau nggak ditegur makin jadi-jadi. Makanya kalau kamu diam-diam aja kami nggak pernah tahu kalau ternyata selama ini kamu nggak suka kedekatan kami.” Tegur Runa pada Roni.
“ Benar. Lagian apa susahnya sih ngomong gitu? Takut kami marah, terus mukulin kamu?” sambung Hendra.
“ Saya nggak pernak melarang hubungan kalian, hanya kalian terlau dekat. Melebihi kedekatan saya dengan Fina.” Jawab Roni jujur.
“ Kalian berdua juga sama-sama salah, kayak nggak pernah pacaran aja. Bagaimana kalau seandainya kamu jadi Roni, apa kamu bisa sabar?” Monika menengahi.
Saya hanya bisa tersenyum, ternyata letak permasalahan bukan hanya pada saya dan Roni, tetapi puncaknya justru tertuju pada Hendra dan Runa. Kami sama-sama salah karena tidak pernah mengerti dan memahami perasaan masing-masing. Padahal kami saling menyayangi, tapi tak pernah mau tahu tentang apa yang ada di hati.
Saya tahu ini semua siasat Monika agar kami bisa bersatu kembali. Ternyata Monika memang orang yang tepat untuk di jadikan seorang sahabat, karena hanya dialah yang mengerti perasaan kami.
Roni, cowok ganteng yang pendiam. Tapi keberaniannya mengungkapkan isi hatinya di depan banyak orang membuat saya terharu dan sangat mengaguminya. Hingga akhirnya ia benar-benar membuat saya jatuh cinta. Walau pribadi kami jauh berbeda tapi dia cowok baik yang rela bersabar, dami mempertahankan cinta kami.
Hendra dan Runa adalah sahabat saya sejak duduk di bangku SMP, entah mereka serius atau tidak, yang jelas dulu mereka pernah bersaing untuk mendapatkan cinta saya. Walaupun akhirnya hanya bisa bersabar karena cintanya saya tolak. Bagi saya persahabatan kami lebih berharga dari pada harus bertengkar demi memperoleh satu hati yang pada akhirnya membuat orang yang satunya sakit hati.
Sedangkan Monika, sahabat lama saya. Tinggal berdampingan dengan rumah saya. Tak pernah terpisahkan, karena hanya dialah satu-satunya pembangkit semangat saya agar terus maju. Selain itu ia juga gadis yang cantik, tak heran jika banyak yang menawarkannya untuk menjadi pendamping Monika, sebagai seorang kekasih tentunya. Monika memang patut di acungi jempol, kesetiaannya terhadap kekasihnya yang kini berada jauh di Jakarta ternyata tak membuatnya melirik pria lain.
Betapa bahagianya memiliki mereka, kasih sayang kami tak ternilai harganya. Tak dapat dibayar dengan apapun juga, dan semoga semuanya kekal abadi selamanya.